Otoritas Jasa Keuangan dan Intervensi Kebijakan Bank Indonesia

KSEI ForSEI, YOGYAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang dibentuk dari integrasi dua lembaga besar, yaitu Direktorat Pengatur dan Pengawas Perbankan BI dan Bapepam-LK. Proses integrasi ini selain memiliki tujuan tertentu juga akan menghadapi berbagai permasalahan yang harus siap dihadapi lembaga baru ini.

Anggota komisi B DPRD DIY dan penggiat microfinance, Ahmad Sumiyanto, kamis (27/06/2013), dalam seminar dan dialog publik yang berlokasi di Wisma Kagamam, Yogyakarta, menyampaikan alasan penting dibentuknya OJK dan tantangan yang akan dihadapi terkait dengan peran lembaga yang masih terbilang baru dan harus mengemban amanah untuk memperbaiki keadaan ekonomi di Indonesia.


Alasan dibentuknya OJK, yaitu: pertama, untuk menghindari adanya conflict of interest dalam lingkup internal BI. Kedua, menghindari konflik kepentingan antara kebijakan moneter dan kebijakan pengawasan konlomerasi sektor jasa keuangan di Indonesia di masa depan, dalam hal in terdapat regulatory arbitrage yaitu integrasi produk perbnakan dan sektor jasa keuangan non bank maupun tindakan. Ketiga, untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil.

Salah satu tujuan pembentukan OJK menurut undang-undang (UU) adalah agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat diintegrasikan sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan memudahkan koordinasi. Namun, proses efisiensi tersebut tidak lepas dari tantangan begitu saja, tantangan utama dalam hal ini antara lain konsekuensi dari pendalaman sektor keuangan, kerentanan pada risiko global, dan kredibilitas OJK.

Sedangkan kelemahan dari OJK, yaitu: Pertama, soal pengaturan dan pengawasan dalam satu organisasi secara terpadu.

Kedua, oknum pengawas yang melakukan error omission ataupun error commission. Error ommision yaitu timbulnya kerugian bank yang diakibatkan adanya unsur kesengajaan manusia untuk melanggar kebijakan dan prosedur yan telah ditetapkan oleh Bank Indonesia atau intansi terkait yang mengikat pada tata kelola perbankan. Sedangkan error commission adalah timbulnya kerugian akibat prosedur bank yang belum sempurna atau pihak bank belum memiliki prosedur sehingga tidak ada larangan atau anjuran yang tegas bagi pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Ketiga, anggota Ex-officio OJK yang berasal dai Bank Indonesia dan Kementrian dianggap rentan sebagai “pintu masuk” bagi politisi untuk mengintervensi urusan OJK.

Keempat, UU OJK rentan dan bahkan tidak berguna jika terjadi hantaman krisis besar, hal ini karena OJK hanya menjadi forum koordinasi stabilitas keuangan belum menajdi lembaga yang mengatur dan membuat kebijakan lembaga mana saja yang memuat kriteria berhak menerima dana talangan dari Bank Indonesia.

Kelima, terkait dengan sektor perbankan adalah pungutan biaya pengawasan perbankan oleh OJK. Saat ini biaya iuran OJK adalah 0,03 persen hingga 0,06 persen, angka ini dianggap terlalu besar dan dapat membebani industri perbankan dalam melakukan efisiensi. Ketidakefisienan yang dikhawatirkan muncul setelah pengawasan dialihkan ke OJK. Selama ini pengawasan tidak pernah dipungut biaya, dan biaya pungutan OJK kali ini tidak jelas peruntukkannya.

Keenam, eafektivitas OJK dalam otoritas moneter atau monetary policy akan overlap dan tumpang tindih dengan microprudential dan produk bisnisnya. Tumpang tindih tidak dapat dihindari karena memang ada wilayah yang sifatnya survailance dari BI untuk kepentingan macroprudential sehingga pemerintah berperan penting dalam membuat pola koordinasi.

Redaktur : Lu'liyatul Mutmainah As-Sakinah

0 Response to "Otoritas Jasa Keuangan dan Intervensi Kebijakan Bank Indonesia"

Posting Komentar